Jumat, 08 November 2013

PENGAWASAN DAN PEMBINAAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH



BAB I
PENDAHULUAN


A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Otonomi daerah merupakan pilihan logis bagi Indonesia dalam upaya menata masa depan politik dan pemerintahan. Tuntutan diberlakukannya otonomi daerah merupakan kekecewaan yang dirasakan pemerintah dearah terhadap dominasi pemerintah pusat. Sehingga otonomi daerah melahirkan yang ada melahirkan asas desentralisasi dimana Kebijakan Desentralisasi telah memberikan kewenangan yang sangat luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya. Hal ini mendorong tumbuhnya inisiatif dan prakarsa pemerintah daerah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan berdasarkan kearifan lokal. Kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat semakin meningkat, prakarsa dan optimisme timbul dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, secara bersamaan telah pula memunculkan kendala dan permasalahan, yaitu akibat dari pemahaman otonomi daerah secara sempit telah melahirkan ego kedaerahan yang berlebihan, sehingga koordinasi antar tingkat pemerintahan dan antar daaerah menjadi sulit dilaksanakan.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi momentum perpindahan pengawasan, sumber daya fiskal, otonomi politik dan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selama rentang perpindahan tersebut, berbagai pengalaman lokal yang heterogen telah muncul ke permukaan, seiring longgarnya pengawasan pusat atas daerah dan meningkatnya wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik. Banyak permasalahan yang muncul dari sistem pengawasan yang ada dimana DPRD sebagai salah satu fungsi control kurang efektif dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah. Walaupun isi dalam Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa pengawasan perlu dilakukan untuk mengevaluasi peraturan daerah dan keputusan Kepala Daerah yang tidak sesuai dengan Undang-undang maupun kepentingan umum.
B.   RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana pelaksanaan pengawasan dan pembinaan menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah?

BAB II
PEMBAHASAN

Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria di atas terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi 16 buah urusan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras. Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah. Koordinasi pembinaan dilaksanakan secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi.


Pembinaan tersebut meliputi
1.            koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
2.            pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
3.            pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;
4.            pendidikan dan pelatihan; dan
5.            perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
1.            Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
2.            Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sanksi diberikan oleh Pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut Penjelasan Umum dalam UU No. 22 tahun 1999, yang dimaksud dengan “pembinaan” adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonomi, sedangkan “Pengawasan” lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Karena itu, Peraturan Daerah (Perda) yang ditetapkan Daerah Otonomi tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Pada bab XII UU No. 22 tahun 1999 diatur perihal “pembinaan dan pengawasan”. Pasal 112 UU mengatakan, dalam rangka pembinaan Pemerintah (Pusat) memfasilitasi penyelenggaraan otonomi Daerah. Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya memberdayakan (empowerment) Daerah otonom itu melalui pemberian pedoman, bimbingan, arahan dan supervisi.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota.
Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi Daerah itu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). PP itu sekarang ialah PP No. 20 tahun 2000. Secara sistem perundang-undangan, PP itu harus dilihat dalam hubungan dan rangkaian kesatuan dengan dan sekaligus sebagai lanjutan induk ketentuan di pasal 112 UU No. 22 Tahun 1999. Perbedaan formil ialah UU adalah produk bersama antara Presiden dan DPR sedangkan PP adalah Produk Presiden sendiri. Dalam konsep hukum tatanegara dan administrasi negara, dikenal pengawasan secara preventif dan pengawasan secara represif. Yang preventif ialah tindakan prevensi (pencegahan) oleh Pemerintah Atasan terhadap Rancangan peraturan, misalnya Pemerintah (Pusat) c.q. menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah langsung atau dikuasakannya kepada Gubernur untuk membatalkan Renperda (Rancangan Peraturan daerah Kabupaten / Kota) antara lain dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau karena mengatur hal-hal yang sudah diatur dalam peraturan yang lebih tinggi itu. Pada pengawasan secara repressif, ialah membatalkan peraturan Daerah yang sudah kadung berjalan.
Menurut pasal 113 UU No. 20 Tahun 1999, dalam rangka pengawasan, Perda disampaikan kepada Pemerintah (atasan) selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. Menurut pasal 114, pemerintah dapat membatalkan Perda yang bertentangan dengan umum atau perundang-undangan lainnya. Keputusan pembatalan Perda diberitahukan kepada Kepala Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya (ayat (2) pasaI 114). Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan Perda. Dan perda tersebut harus dibatalkan pelaksanaannya (ayat (3) pasal 114).
pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonom, sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena itu, Peraturan Daerah yang ditetapkan Daerah Otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dapat mengajukan keberatan kepada mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada Pemerintah (Pusat atau wakilnya di daerah yakni Gubernur).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


A.   KESIMPULAN

Berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berikut penjelesannya itu, baik Penjelasan Umum maupun penjelasan Pasal demi Pasal, ditarik kesimpulan bahwa otonomi Daerah yang akan dikembangkan menurut UU ini ialah otonomi daerah dengan kemandirian yang integral. Berarti, daerah-daerah diberikan komandirian dalam makna kebebasan untuk mengatur dan mengurus Daerahnya masing-masing (relegen en beheeren), namun tetap berada dalam status sebagai bagian yang integral dan terpadu dalam lingkungan Negara kesatuan R.I.
Sedangkan dalam mengawal otonomi tersebut tidak terlepas adanya pengawasan oleh Pemerintah Pusat dapat dibenarkan untuk membangun negara Indonesia karena Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Negara dan Daerah. Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah termasuk juga Keputusan-keputusan Kepala Daerah terutama Peraturan-peraturan Daerah yang ada dapat diawasi, jika menilik sifatnya bentuk pengawasan bisa dibagi dalam:
1. Pengawasan preventif
2. Pengawasan represif
Dan pemerintah Pusat juga harus diawasi oleh lembaga negara yang lain terutama lembaga perwakilan yang fungsinya berupa pengawasan, karena Pemrintah Pusat juga mempunyai kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan.
pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonom, sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena itu, Peraturan Daerah yang ditetapkan Daerah Otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.

B.   SARAN

Menurut pendapat saya, apapun peraturan yang berlaku, dan bagaimanapun peraturan silih berganti, dan bagaimanapun gejolak Politik yang berkembang, namun perlu adanya kesamaan persepsi di antara semua pihak-pihak Pemerintah, baik Pusat dan daerah, dan juga antar-sesama Daerah, untuk menempatkan semua masalah dan penggarisan kebijakan serta pembuatan peraturan (UU, Perda, dsb) dalam konteks pemikiran yang senantiasa mengarah kepada pemeliharaan kultur dan nilai-nilai demokrasi. Dengan tidak mengabaikan gejolak dan situasi nasional dan perkembangan kekuasaan di Ibukota, sebaiknya Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota sudi duduk bersama dengan pemikiran yang jernih dan rasional untuk bersama-sama menemukan dan menggariskan kebijakan mengenai pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di lingkungan Provinsi masing-masing, dengan mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, tidak sekedar melihat secara sempit kepentingan daerah masing-masing ataupun dengan arogan mempertahankan kepentingan kekuasaan yang formal di daerahnya sendiri-sendiri.

review tentang “Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia”



A.    LATAR BELAKANG
Buku atau disertasi yang berjudul “Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia” adalah sebuah buku yang menggali tentang penetapan Undang-Undang Dasar, sifat sementara atau tetapnya Undang-Undang Dasar 1945, dan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang pada waktu itu dan sampai sekarang masih diperbincangkan dan banyak didiskusikan segala persoalan yang menyangkut Undang-Undang Dasar 1945. Dalam buku ini atau lebih mengacu kepada desertasinya J.T.C Simorangkir berbendapat bahwa UUD 1945 sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sudah tetap dan tidak bersifat sementara lagi, dan masalah praktis bagi bangsa Indonesia terletak pada pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila yang termuat dalam pembukaannya secara murni dan konsekuen. Sedangkan apabila kita mengacu kepada pasal 37 UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 masih dapat dilakukan perubahan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan oleh UUD 1945. Seiring dengan perkembangan jaman maka tuntutan akan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu hal yang baru. Dari latar belakang tersebut maka penulis akan mencoba mereview buku atau desertasi ini berkaitan dengan sifat UUD 1945 yang tetap atau bersifat sementara.

B.     PERUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini penulis akan meriview Disertasi yang di tulis oleh J.C.T. Simorangkir yang berjudul “Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia” tersebut, dengan membandingkan pendapat dari beberapa buku mengenai Konstitusi dan Tata Negara.
Dari buku disertasi tersebut penulis membagi permasalahan atau pokok bahasan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu :
a.      Adanya perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945, mengapa perubahan tersebut terjadi dan apa latar belakang yang mendasarinya?
b.      Apakah perbedaan pengertian dari Konstitusi dengan Undang-Undang Dasar?
c.       Apa latar belakang dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  PERUBAHAN/AMANDEMEN TERHADAP UNDANG – UNDANG DASAR 1945
Undang-Undang Dasar 1945 menurut bahasan dalam bukunya JCT. Simorangkir menganggap bahwa UUD 1945 merupakan Hukum Konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang bersifat TETAP dan tidak sementara lagi (BAB V halaman 155) sehingga kita bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, namun di akhir bahasan pada bab yang sama Simorangkir menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan akan adanya perubahan terhadap UUD 1945 itu sendiri dengan melalui mekanisme pasal 37 kelak dikemudian hari dengan adanya perkembangan zaman, kemajuan teknologi, pengaruh timbal balik antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia, keterbatasan manusia sebagai mahluk Tuhan, merupakan sebagian dari sekian banyak faktor yang memungkinkan timbulnya kebutuhan nasional akan penyesuaian ketentuan-ketentuan UUD 1945 itu dengan tuntutan modernisasi atau perubahan zaman.
Seiring dengan perkembangan jaman maka tuntutan akan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu hal yang baru.  Tuntutan akan perubahan / amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengemuka sejak turunnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 tepatnya pada tanggal 21 Mei. Dengan turunnya Presiden Soeharto makin gencar pula keinginan dan tuntutan untuk melakukan perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Keinginan ini mengemuka dalam sidang MPR pada tahun 1999 hasil pemilu.
Perubahan UUD 1945 oleh MPR mulai dilakukan pada Sidang Istimewa tahun 1999, dan sesuai dengan “amanat” Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2000, tertanggal 18 Agustus 2000, harus selesai selambat-lambatnya dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah terjadi empat kali perubahan UUD 1945, dengan jumlah pasal perubahan sebanyak 75 pasal.[1]).
Menurut Sri Bintang Pamungkas[2]), ada beberapa alasan mengapa harus diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945  : pertama, bahwa UUD 1945 pada hakekatnya belum pernah ditetapkan sebagai konstitusi Republik Indonesia yang resmi oleh badan perwakilan pilihan rakyat, kecuali kesepakatan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, dan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. selama 30 tahun lebih orde baru, MPR tidak pernah bersidang untuk menetapkan UUD 1945 sebagai Konstitusi RI. Kecuali pada tahun 1983, melalui Tap MPR No. I dan No.IV, berkeketapan untuk tidak mengubah UUD 1945 selain melalui referendum (UU No.5/1985). Hal ini (Tap MPR ini) jelas merupakan rekayasa rezim Soeharto yang telah mengamandemen konstitusi dengan cara yang bertentangan dengan UUD 45 sendiri (Pasal 37). Di dalam UUD 1945 sebenarnya tidak dikenal Ketetapan MPR, yang ada adalah Undang - Undang dan Peraturan Pemerintah. Ketetapan MPR dalam Pasal 3 dimaksudkan sebagai perubahan (amandemen) terhadap Konstitusi.
Alasan kedua, UUD 1945 terlalu bersifat Executive Heavy yang membawa ke arah kediktatorisme pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan, kalau mengingat perdebatan di Konstituante, UUD 1945 ini pun sudah pernah ditolak melalui voting hingga beberapa kali, antara lain dengan alasan itu. Kalaulah akhirnya muncul Dekrit Presiden 5 Juli 59, itu hanyalah ulah kaum militer yang memaksakannya dengan memperlakukan keadaan darurat, lalu menolak Konstituante yang sedang menyusun konstitusi baru yang parlementer. Tetapi kemudian terbukti bahwa UUD 1945 selalu membawa kediktatoran model Sukarno dengan Demokrasi Terpimpinnya, dan model Suharto dengan Demokrasi Pancasilanya.
Sifat Executive Heavy ini semestinya tidak perlu dikaitkan dengan sistem presidentiil yang dianut oleh Indonesia. Banyak negara yang menganut sistem ini (AS, Perancis, Filipina) tetapi tidak menjadikan kediktatoran pemerintahnya. Ini semata-mata karena kelemahan UUD 1945, khususnya yang memberi peluang bagi terciptanya absolutisme pemerintah, sentralisme pemerintahan, dan militerisme.
Alasan ketiga, UUD 1945 sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman, terlalu sederhana, banyak kekurangan dan kelemahannya, dan banyak yang tidak jelas, sehingga tidak mampu mencapai cita-citanya sendiri.
Dari alasan ketiga inilah diperlukan perubahan yang lebih jauh dan mendasar yang mengarah kepada reformasi sistem penyelenggaraan negara. Perubahan sistem tidak mungkin dilakukan tanpa perubahan konstitusi.
Alasan lain mengapa perlu diadakannya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 diberikan oleh Prof. A. Mukthie Fadjar, SH., MS dalam bukunya Reformasi dan Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, A. Mukthie Fadjar mengemukakan beberapa alasan mengapa Undang-Undang Dasar 1945 perlu disempurnakan dalam rangka reformasi hukum pasca orde baru, yaitu[3]) :
a.      Alasan historis, sejak semula dalam sejarahnya UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara kita (BPUPKI, PPKI) sebagai Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara, karena dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketergesa-gesaan.
b.      Alasan filosofis, dalam UUD 1945 telah terdapat pencampuradukan berbagai gagasan yang saling bertentangan, seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik antara faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.
c.       Alasan teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi bagi suatu negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan menonjolkan pengintegrasian.
d.     Alasan yuridis sebagaimana lazimnya setiao konstitusi UUD 1945 juga mencantumkan klausula perubahan seperti dalam pasal 37.
e.      Alasan praktis politis, bahwa secara sadar atau tidak, secara langsung atau tidak langsung dalam praktek UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan dan atau penambahan yang menyimpang dari teks aslinya dari masa 1945-1949, maupun 1959-1998.
Bahkan praktek politik sejak tahun 1959 sampai 1998 kelemahan UUD 1945 yang kurang membatasi kekuasaan eksekutif dan pasal-pasalnya yang bisa menimbulkan multi interpretasi, telah dimanipulasi oleh presiden yang sangat berkuasa, Soekarno dan Soeharto.
Sedangkan Mahfud M.D menyebutkan ada 4 (empat) kelemahan yang ada didalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga menyebabkan tidak demokratisnya negara Indonesia selama menggunakan UUD 1945 itu, yaitu [4]) :
  1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executif heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme check and balances yang memadai.
  2. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal yang penting dengan Undang-Undang ataupun Peraturan Pemerintah.
  3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.
  4. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara negara daripada sistemnya.
Taufiqurahman Syahuri mengatakan dalam bukunya Hukum dan Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, bahwa kontroversi keberlakuan UUD 1945 muncul kembali menjelang sidang MPR era reformasi hasil pemilu 1999 yang mengagendakan perubahan UUD 1945. Apakah MPR dapat langsung melakukan perubahan UUD 1945, karena UUD 1945 itu tidak pernah ditetapkan oleh MPR sebagaimana yang ditentukan pasal 3 UUD 1945 ? Majelis Permusyawaratan Rakyat era reformasi ini ternyata melanjutkan “tradisi” MPR sebelumnya, sehingga majelis langsung melakukan perubahan UUD 1945[5]).
Perubahan UUD 1945 melalui mekanisme pasal 37 itu akhirnya terwujud berkat tuntutan masyarakat luas di era reformasi serta adanya kesadaran kolektif yang memandang bahwa ada sesuatu yang salah dalam UUD 1945, sebagaimana telah disinggung dibagian atas. Namun demikian, bukan berarti tanpa tantangan. Ditengah proses amandemen sedang berlangsung, muncul kelompok masyarakat yang menginginkan amandemen dihentikan, karena menurut mereka, amandemen UUD 1945 sudah “keblablasan” sehingga mengarah kepada terbentuknya undang-undang dasar baru.
Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH., Msi, dkk dalam buku Teori dan Konstitusi[6]) menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu diamandemen karena ruh dan pelaksanaan konstitusinya jauh dari paham konstitusi itu sendiri. Hal ini sejalan bahkan diperkokoh oleh hasil Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Unibraw[7]) yang mencoba mengklarifikasikan beberapa kelemahan UUD 1945, antara lain : UUD 1945 telah memposisikan kekuasaan presiden begitu besar (executive power), sistem checks and balances yang tidak diatur secara tegas di dalamnya, ketentuan UUD 1945 banyak yang tidak jelas dan multitafsir, tentang minimnya pengaturan masalah hak-hak asasi manusia, sistem kepresidenan dan sistem perekonomian yang kurang jelas.
Alasan lain yang dapat dijadikan dasar pertimbangan perlunya mengamandemen UUD 1945, karena secara historis UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara sebagai konstitusi yang bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa. Secara filosofis, ide dasar dan substanti UUD 1945 telah mencampuradukkan antara paham kedaulatan rakyat dengan paham integralistik. Padahal antara keduanya bertolak belakang, bahkan paham integralistiklah yang telah memberangus demokratisasi di Indonesia. Kemudian secara yuridis, karena Uud 1945 sendiri telah mengatur prinsip dan mekanisme perubahan konstitusi (Pasal 37). Adapun dasar pertimbangan praktis-politisnya sesuai dengan sinyalemen Mochtar Prabottinggi[8]) bahwa Konstitusi/UUD 1945-nya sudah lama tidak dijalankan secara murni dan konsekuen.
Prof. DR. Jimly Asshidiqie, SH menyatakan bahwa konstitusi di negara manapun di dunia ini tidak ada yang sempurna, apalagi konstitusi itu buatan manusia. Penyempurnaan terhadap sebuah konstitusi adalah sebuah keniscayaan, asalkan penyempurnaan itu dilakukan dengan melihat urgensi kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan elit politik semata[9]).
B.       KONSTITUSI DAN UNDANG–UNDANG DASAR
Di negara-negara yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan - peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Penyamaan pengertian antara konstitusi dengan Undang-Undang Dasar sebenarnya sudah dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan UUD itu sebagai Instrument of Government, yaitu bahwa UUD dibuat sebagai pegangan untuk memerintah dan disinilah timbul identifikasi dari pengertian Konstitusi dan UUD[10]).
Konstitusi dan Undang-Undang Dasar sering kali memiliki batasan yang berbeda, sungguhpun keduanya sama-sama menunjuk pada pengertian hukum dasar. Secara umum, konstitusi menunjuk pada pengertian hukum dasar tidak tertulis, sedangkan undang-undang dasar menunjuk pada pengertian hukum dasar tertulis. Eric Barendt dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to Constitutional Law”  menyebutkan[11]) :
“The Constitution of a state is the written document or text which outlines the powers of its parliament, government, courts, and other important national institution”.
Konstitusi dapat diartikan sebagai dokumen yang tertulis yang secara garis besarnya mengatur kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta lembaga negara penting lainnya.
Konstitusi dengan istilah lain constituition atau verfasung dibedakan dari undang-undang dasar atau groundgesetz. Herman Heller menyatakan, bahwa konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada undang-undang dasar. Solly Lubis berpendapat, konstitusi memiliki dua pengertian, yaitu konstitusi tertulis (undang-undang dasar) dan konstitusi tidak tertulis (konvensi)[12]).
Mahfud MD dalam buku Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia[13]) menyatakan bahwa Konstitusi dalam arti luas mencakup baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sehingga secara demikian Konstitusi itu ada dua macam, yaitu Konstitusi Tertulis yang biasa disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD) dan Konstitusi yang tidak tertulis yang biasa disebut Konvensi. Hampir semua negara di dunia ini mempunyai konstitusi tertulis disamping konvensi-konvensinya kecuali Inggris dan Kanada. Di inggris dan Kanada yang dipakai hanyalah Hukum Dasar yang tak tertulis (Konvensi).
Yang perlu diingat ialah arti tertulis tersebut. Tertulis disini mempunyai arti khusus yaitu ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Jadi kalau sekedar ditulis dalam bentuk publikasi, artikel, dan buku misalnya secara hukum tidak dikatakan tertulis.
Bila demikian dapat dikatakan bahwa semua konstitusi di dunia ini mempunyai tujuan.
a.        Mengatur lembaga-lembaga negara dan wewenang-wewenangnya.
b.        Mengatur tentang perlindungan atas hak-hak asasi manusia. Karena adanya konvensi maka dengan sendirinya masih banyak hal yang diatur diluar konstitusi tetapi mempunyai sifat dan kekuatan mengikat seperti konstitusi.
Sedangkan menurut Juniarto, suatu dokumen hukum yang mengandung aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan dari suatu negara, yang lazim kepadanya diberikan sifat luhur dan “kekal”, dan apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang berat, kalau dibandingkan dengan dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya[14]).
K.C. Wheare dalam buku Modern Constitution[15]) menjelaskan, istilah konstitusi secara garis besarnya dapat dibedakan ke dalam dua pengertian.
Pertama, istilah konstitusi dipergunakan untuk menunjuk kepada seluruh rules mengenai sistem ketatanegaraan.
Kedua, istilah konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen atau beberapa dokumen yang memuat aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok atau dasar saja mengenai ketatanegaraan suatu negara.
Sedangkan menurut Taufiqurrohman Syahuri[16]) pengertian konstitusi dan undang-undang dasar menunjuk kepada pengertian hukum dasar suatu negara, yang mengatur susunan organisasi pemerintahan, menetapkan badan-badan negara dan cara kerja badan tersebut, menetapkan hubungan antara pemerintah dan warga negara, serta mengawasi pelaksanaan pemerintahan. Perbedaaannya hanya terletak pada proses terjadinya konstitusi itu. Di Indonesia pernah memakai kedua istilah tersebut, tahun 1945 dan tahun 1950, hukum dasar Indonesia diberi nama dengan istilah “undang-undang dasar’, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Sementara itu pada tahun 1949, negara Indonesia menggunakan istilah “Konstitusi” untuk menyebut hukum dasarnya, yakni Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Lepas dari perdebatan akan perbedaan pendapat mengenai Konstitusi dan Undang-Undang Dasar itu, Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan[17]), bahwa Konstitusi memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :
1.      Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
2.      Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara.
3.      Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antarorgan negara dengan warga negara.
4.      Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5.      Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada organ negara.
6.      Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan identitas dan keagungan kebangsaan (identity og nation), serta sebagai center of ceremony.
7.      Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi.
8.      Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat (social engginering atau social reform).
C.      PEMBERLAKUAN KEMBALI UUD 1945 MELALUI DEKRIT PRESIDEN  5 JULI 1959
Untuk menjelaskan hal ini terlebih dahulu kita harus mengetahui isi dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu sendiri. Dalam disertasinya Simorangkir menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) buah hal penting yang terdapat di dalam isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut :
1.      Membubarkan Konstituante
2.      Menetapkan berkakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku kembali UUDS 1950
3.      Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Simorangkir menjelaskan bahwa jawabannya tersimpul a.l. dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966 dalam rumusan : “…Dekrit Presiden yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD 1945 sejak 5 Juli 1995, dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatnoodrecht), mengingat keadaan ketata-negaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta, untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, disebabkan kegagalan Konstuante untuk melaksanakan tugasnya menetapkan UUD bagi Bangsa dan Negara R.I…. Meskipun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat, namun kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia, terbukti dari persetujuan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 secara aklamasi pada 22 Juli 1959 …”.   
Pendirian tersebut adalah sesuai dengan Hukum Darurat Negara, yang memberi kewenangan kepada pihak eksekutif untuk, dalam keadaan darurat, yang mengancam keberadaan (eksistensi) negara, bertindak, jika perlu di luar batas-batas kewenangan konstitusional, demi pengamanan negara.
Joeniarto dalam bukunya Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia[18]) menyatakan bahwa Dekrit tersebut yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD 1945, sejak 5 Juli 1959, dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatnodrecht), mengingat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta, untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, disebabkan kegagalan konstituante untuk melaksanakan tugasnya menetapkan Undang – Undang Dasar bagi bangsa dan negara RI.
Latar belakangnya yang lebih mendalam adalah ekses-ekses pelaksanaan demokrasi liberal ala UUDS 1950 yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa demokrasi terpimpin berlandaskan pancasila.
Menurut Bagir Manan[19]), hukum bukanlah sekedar bunyi aturan. Hukum mencakup juga kenyataan. Bahkan kenyataan (Law in Action) dapat mengesampingkan aturan hukum yang bersifat formal (Law in Books). Terdapat beberapa faktor kenyataan yang dapat menjadi dasar menyatakan UUD 1945 telah tetap.
  1. Dekrit kembali ke UUD 1945 telah diterima sebagai kenyataan dan UUD 1945 hingga saat ini secara resmi telah berlaku lebih dari 40 tahun. Dan nampaknyaakan berlaku terus walaupun dikemudian hari akan terus disertai pembaharuan atau perubahan.
  2. Salah satu inti dekrit adalah menyatakan UUDS 1950 tidak berlaku. Tidak masuk akal jika UUDS yang sementara sifatnya akan digantikan dengan UUD yang bersifat sementara pula.
  3. Salah satu pertimbangan kembali ke UUD 1945 adalah untuk kembali pada semangat proklamasi. Tidak mungkin hasrat tersebut bersifat sementara, melainkan hendak kembali secara ”abadi”, dan untuk itu UUD 1945 harus bersifat tetap.
  4. Dari berbagai kebijaksanaan politik dan berbagai dorongan kekuatan politik saat itu, dapat diyakini, kehendak kembali memberlakukan UUD 1945 akan bersifat tetap tidak sementara.
Pasal 3 UUD 1945 yang mengatur wewenang MPR menetapkan UUD, harus dikaji secara kontekstual yaitu keadaan pada saat UUD 1945 ditetapkan (18-8-45). Baik atas ketentuan passal 3 dan aturan tambahan maupun ucapan ketua perancang UUD  (Soekarno), UUD yang ditetapkan 18-8-45 memang UUD sementara.



BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian permasalahan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Menurut J.C.T. Simorangkir dalam disertasinya yang berjudul “Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat Dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia” menyatakan bahwa berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 tidak bersifat sementara lagi seperti 3 (tiga) UUD yang berlaku sebelum Dekrit Presiden itu tetapi sudah TETAP. Pandangan ini menurut penulis dikarenakan pada waktu pembuatan disertasi yaitu tahun 1983 masih diperngaruhi oleh alam Orde Baru, padahal dalam Undang-Undang Dasar 1945 sendiri mengatur akan adanya perubahan yaitu didalam Pasal 37.
Namun setelah waktu berjalan maka tuntutan akan perubahan atau amandemen akan Undang-Undang Dasar 1945 mengemuka dan menjadi satu agenda bagi Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999. Sehingga sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, MPR berhasil melakukan perubahan atau amandemen sebanyak 75 pasal.
2.      Konstitusi dan Undang-Undang Dasar banyak yang mengartikan sama, seperti halnya pendapat dari Simorangkir sendiri, namun ada juga pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa Konstitusi bersifat lebih luas dari Undang-Undang Dasar sebagaimana di jelaskan oleh Solly Lubis dan Mahfud MD, bahwa Konstitusi ada dua jenis yaitu Konstitusi yang tertulis atau Undang-Undang Dasar dan Konstitusi yang tidak tertulis atau konvensi.
3.      Mengenai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Simorangkir menjelaskan bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mempunyai akibat yang sangat besar, yaitu : Pertama, Pembubaran Konstituante, Kedua, Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS 1950, Ketiga, pembentukan MPRS dan DPAS.
Simorangkir menjelaskan bahwa Dekrit Presiden tersebut dikeluarkan karena keadaan darurat dari negara Inonesia pada waktu itu dikarenakan Konstituante sebagai lembaga penyusun Undang-Undang Dasar tidak berhasil melaksanakan tugasnya sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang berakibat luar biasa pada sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini ternyata didukung oleh rakyat yang jawabannya tersimpul a.l. dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966 dalam rumusan : “…Dekrit Presiden yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD 1945 sejak 5 Juli 1995, dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatnoodrecht), mengingat keadaan ketata-negaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta, untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, disebabkan kegagalan Konstuante untuk melaksanakan tugasnya menetapkan UUD bagi Bangsa dan Negara R.I…. Meskipun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat, namun kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia, terbukti dari persetujuan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 secara aklamasi pada 22 Juli 1959 …”.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. DR. H. Bagir manan, SH, MCL , 2004, Teori dan Politik Konstitusi , Cetakan kedua, FH UII Press
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Hj. Ni’matul Huda, 2005, Teori dan Konstitusi, PT.Raja Grafindo Persada.
Eric Barendt, 1998, An Introduction to Constitutional Law, London:Oxford University Press.
Jimly Asshiddiqie, 2002, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta.
________________, Penyempurnaan UUD tidak harus Perubahan, disampaikan dalam wawancara dengan majalah FIGUR Edisi XII/TH. 2007
Joeniarto, 1981, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
________, 1981, Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty.
K.C. Wheare F.B.A, 1975, Modern Constitution, London; Oxford University Press.
Komisi hukum Nasional RI, 2008, Gagasan Amandemen UUD 1945 Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional, Jakarta

Mahfud. MD. , 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta Rineka Cipta.
M. Solly Lubis, 1978, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni.
Mukthie Fadjar, 2003, Reformasi dan Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Institute for Strengthening Transition Society Studies (In-TRANS).
Mochtar Pabottinggi,___, Stategi dan Upaya Penyusunan Agenda Politik Dalam Reformasi, makalah disampaikan dalam Seminar di P4K UGM, Yogyakarta.
Sri Bintang Pamungkas, 2002, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen : UUD 1945 Harus Diganti, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Taufiqurrohman Syahuri, 2004, Hukum dan Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogor, Cetakan Pertama.
Tim Kajian Amandemen FH Unibraw, 2000, Amandemen UUD 1945, Antara Teks dan Konteks Dalam Negara yang Sedang Berubah, Sinar Grafika, Jakarta.


[1]      Dr. Taufiqurahman Syahuri, Hukum dan Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogror, Cetakan Pertama, 2004, hal. 10-11
[2]      Sri Bintang Pamungkas, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen : UUD 1945 Harus Diganti, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002,hal. 37-38.
[3]      A. Mukthie Fadjar, Reformasi dan Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, Institute for Strengthening Transition Society Studies (In-TRANS), 2003, hal. 39.
[4]      Mahfud. MD., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta Rineka Cipta, 2001, hal. 155-157
[5]      Dr. Taufiqurahman Syahuri, Hukum dan Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogror, Cetakan Pertama, 2004, hal. 7-8
[6]      Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH., Msi, Jazim Hamidi, SH., MHum, Hj. Ni’matul Huda, SH., Mhum , Teori dan Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 146-147.
[7]      Tim Kajian Amandemen FH Unibraw, Amandemen UUD 1945, Antara Teks dan Konteks Dalam Negara yang Sedang Berubah, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 1 dan II
[8]    Mochtar Pabottinggi, Stategi dan Upaya Penyusunan Agenda Politik Dalam Reformasi, makalah disampaikan dalam Seminar di P4K UGM, Yogyakarta, 29-30. hal 23
[9]      Prof. DR. Jimly Asshidiqie, SH, Penyempurnaan UUD tidak harus Perubahan, disampaikan dalam wawancara dengan majalah FIGUR Edisi XII/TH. 2007, hal. 14-15.
[10]   Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH., Msi, Jazim Hamidi, SH., MHum, Hj. Ni’matul Huda, SH., Mhum , Teori dan Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 7-8
[11]   Eric Barendt, An Introduction to Constitutional Law, London:Oxford University Press, 1998, hal.1; baca juga buku dari Dr. Taufiqurahman Syahuri, Hukum dan Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogror, Cetakan Pertama, 2004, hal. 30.
[12]   M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, 1978, hal. 45
[13]   Dr. Mahfud M.D., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993, hal. 80-81
[14]   Joeniarto, Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1981, hal. 22
[15]   K.C. Wheare F.B.A, Modern Constitution, London; Oxford University Press, 1975, hal. 1-2.
[16]                 Dr. Taufiqurahman Syahuri, Hukum dan Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, Ghalia Indonesia, Bogror, Cetakan Pertama, 2004, hal. 30
[17]   Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia : Jakarta, 2002, hal. 33.
[18]   Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1981, hal. 55.
[19] Prof. DR. H. Bagir manan, SH, MCL , Teori dan Politik Konstitusi , Cetakan kedua, FH UII Press , 2004, hal. 9.