A. LATAR BELAKANG
Buku
atau disertasi yang berjudul “Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat dari Segi
Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia” adalah sebuah buku yang menggali tentang
penetapan Undang-Undang Dasar, sifat sementara atau tetapnya Undang-Undang
Dasar 1945, dan penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang pada waktu itu dan
sampai sekarang masih diperbincangkan dan banyak didiskusikan segala persoalan
yang menyangkut Undang-Undang Dasar 1945. Dalam buku ini atau lebih mengacu
kepada desertasinya J.T.C Simorangkir berbendapat bahwa UUD 1945 sejak Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 adalah sudah tetap dan tidak bersifat sementara lagi, dan
masalah praktis bagi bangsa Indonesia terletak pada pelaksanaan UUD 1945 dan
Pancasila yang termuat dalam pembukaannya secara murni dan konsekuen. Sedangkan
apabila kita mengacu kepada pasal 37 UUD 1945 disebutkan bahwa UUD 1945 masih
dapat dilakukan perubahan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah
ditentukan oleh UUD 1945. Seiring dengan perkembangan jaman maka tuntutan akan
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu hal yang baru. Dari latar
belakang tersebut maka penulis akan mencoba mereview buku atau desertasi ini
berkaitan dengan sifat UUD 1945 yang tetap atau bersifat sementara.
B. PERUMUSAN MASALAH
Di
dalam makalah ini penulis akan meriview Disertasi yang di tulis oleh J.C.T.
Simorangkir yang berjudul “Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat Dari Segi Ilmu
Hukum Tata Negara Indonesia” tersebut, dengan membandingkan pendapat dari
beberapa buku mengenai Konstitusi dan Tata Negara.
Dari
buku disertasi tersebut penulis membagi permasalahan atau pokok bahasan dalam 3
(tiga) kategori, yaitu :
a.
Adanya perubahan atau amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar 1945, mengapa perubahan tersebut terjadi dan apa latar
belakang yang mendasarinya?
b.
Apakah perbedaan pengertian dari Konstitusi
dengan Undang-Undang Dasar?
c.
Apa latar belakang dari Dekrit Presiden 5
Juli 1959 sehingga Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PERUBAHAN/AMANDEMEN TERHADAP UNDANG –
UNDANG DASAR 1945
Undang-Undang
Dasar 1945 menurut bahasan dalam bukunya JCT. Simorangkir menganggap bahwa UUD
1945 merupakan Hukum Konstitusi atau Undang-Undang Dasar yang bersifat TETAP
dan tidak sementara lagi (BAB V halaman 155) sehingga kita bertekad untuk
melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, namun di akhir bahasan pada
bab yang sama Simorangkir menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan akan adanya
perubahan terhadap UUD 1945 itu sendiri dengan melalui mekanisme pasal 37 kelak
dikemudian hari dengan adanya perkembangan zaman, kemajuan teknologi, pengaruh
timbal balik antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia, keterbatasan
manusia sebagai mahluk Tuhan, merupakan sebagian dari sekian banyak faktor yang
memungkinkan timbulnya kebutuhan nasional akan penyesuaian ketentuan-ketentuan
UUD 1945 itu dengan tuntutan modernisasi atau perubahan zaman.
Seiring
dengan perkembangan jaman maka tuntutan akan perubahan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan suatu hal yang baru. Tuntutan
akan perubahan / amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengemuka sejak turunnya
Presiden Soeharto pada tahun 1998 tepatnya pada tanggal 21 Mei. Dengan turunnya
Presiden Soeharto makin gencar pula keinginan dan tuntutan untuk melakukan
perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Keinginan ini
mengemuka dalam sidang MPR pada tahun 1999 hasil pemilu.
Perubahan
UUD 1945 oleh MPR mulai dilakukan pada Sidang Istimewa tahun 1999, dan sesuai
dengan “amanat” Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2000,
tertanggal 18 Agustus 2000, harus selesai selambat-lambatnya dalam Sidang
Tahunan MPR tahun 2002. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 telah terjadi
empat kali perubahan UUD 1945, dengan jumlah pasal perubahan sebanyak 75 pasal.).
Menurut
Sri Bintang Pamungkas),
ada beberapa alasan mengapa harus diadakan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
1945 : pertama, bahwa UUD 1945 pada hakekatnya belum pernah ditetapkan
sebagai konstitusi Republik Indonesia yang resmi oleh badan perwakilan pilihan
rakyat, kecuali kesepakatan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, dan melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. selama 30 tahun lebih orde baru, MPR tidak pernah
bersidang untuk menetapkan UUD 1945 sebagai Konstitusi RI.
Kecuali pada tahun 1983, melalui Tap MPR No. I dan No.IV, berkeketapan untuk tidak
mengubah UUD 1945 selain melalui referendum (UU No.5/1985). Hal ini (Tap MPR ini)
jelas merupakan rekayasa rezim Soeharto yang telah mengamandemen konstitusi dengan
cara yang bertentangan dengan UUD 45 sendiri (Pasal 37). Di dalam UUD 1945 sebenarnya
tidak dikenal Ketetapan MPR, yang ada adalah Undang - Undang dan Peraturan Pemerintah.
Ketetapan MPR dalam Pasal 3 dimaksudkan sebagai perubahan (amandemen) terhadap Konstitusi.
Alasan
kedua, UUD 1945 terlalu bersifat Executive Heavy yang membawa ke arah
kediktatorisme pemerintah yang sedang berkuasa. Bahkan, kalau mengingat
perdebatan di Konstituante, UUD 1945 ini pun sudah pernah ditolak melalui
voting hingga beberapa kali, antara lain dengan alasan itu. Kalaulah akhirnya
muncul Dekrit Presiden 5 Juli 59, itu hanyalah ulah kaum militer yang
memaksakannya dengan memperlakukan keadaan darurat, lalu menolak Konstituante yang
sedang menyusun konstitusi baru yang parlementer. Tetapi kemudian terbukti bahwa
UUD 1945 selalu membawa kediktatoran model Sukarno dengan Demokrasi
Terpimpinnya, dan model Suharto dengan Demokrasi Pancasilanya.
Sifat
Executive Heavy ini semestinya tidak
perlu dikaitkan dengan sistem presidentiil yang dianut oleh Indonesia.
Banyak negara yang menganut sistem ini (AS, Perancis, Filipina) tetapi tidak
menjadikan kediktatoran pemerintahnya. Ini semata-mata karena kelemahan UUD 1945,
khususnya yang memberi peluang bagi terciptanya absolutisme pemerintah,
sentralisme pemerintahan, dan militerisme.
Alasan
ketiga, UUD 1945 sudah tidak sesuai dengan
kehendak zaman, terlalu sederhana, banyak kekurangan dan kelemahannya, dan
banyak yang tidak jelas, sehingga tidak mampu mencapai cita-citanya sendiri.
Dari
alasan ketiga inilah diperlukan perubahan yang lebih jauh dan mendasar yang mengarah
kepada reformasi sistem penyelenggaraan negara. Perubahan sistem tidak mungkin
dilakukan tanpa perubahan konstitusi.
Alasan
lain mengapa perlu diadakannya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 diberikan
oleh Prof. A. Mukthie Fadjar, SH., MS dalam bukunya Reformasi dan Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik, A.
Mukthie Fadjar mengemukakan beberapa alasan mengapa Undang-Undang Dasar 1945
perlu disempurnakan dalam rangka reformasi hukum pasca orde baru, yaitu)
:
a.
Alasan historis,
sejak semula dalam sejarahnya UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara
kita (BPUPKI, PPKI) sebagai Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara, karena
dibuat dan ditetapkan dalam suasana ketergesa-gesaan.
b.
Alasan filosofis,
dalam UUD 1945 telah terdapat pencampuradukan berbagai gagasan yang saling
bertentangan, seperti faham kedaulatan rakyat dengan faham integralistik antara
faham negara hukum dengan faham negara kekuasaan.
c.
Alasan teoritis,
dari sudut pandang teori konstitusi (konstitusionalisme), keberadaan konstitusi
bagi suatu negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar
tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi justru UUD 1945 kurang menonjolkan
pembatasan kekuasaan tersebut, melainkan menonjolkan pengintegrasian.
d.
Alasan yuridis
sebagaimana lazimnya setiao konstitusi UUD 1945 juga mencantumkan klausula
perubahan seperti dalam pasal 37.
e.
Alasan praktis
politis, bahwa secara sadar atau tidak, secara langsung atau tidak langsung
dalam praktek UUD 1945 sudah sering mengalami perubahan dan atau penambahan
yang menyimpang dari teks aslinya dari masa 1945-1949, maupun 1959-1998.
Bahkan praktek politik sejak tahun
1959 sampai 1998 kelemahan UUD 1945 yang kurang membatasi kekuasaan eksekutif
dan pasal-pasalnya yang bisa menimbulkan multi interpretasi, telah dimanipulasi
oleh presiden yang sangat berkuasa, Soekarno dan Soeharto.
Sedangkan
Mahfud M.D menyebutkan ada 4 (empat) kelemahan yang ada didalam Undang-Undang
Dasar 1945 sehingga menyebabkan tidak demokratisnya negara Indonesia selama
menggunakan UUD 1945 itu, yaitu )
:
- UUD
1945 membangun sistem politik yang executif
heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden
tanpa adanya mekanisme check and balances yang memadai.
- UUD
1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada
Presiden untuk mengatur lagi hal-hal yang penting dengan Undang-Undang
ataupun Peraturan Pemerintah.
- UUD
1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa
ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima
adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.
- UUD
1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara negara daripada sistemnya.
Taufiqurahman
Syahuri mengatakan dalam bukunya Hukum
dan Konstitusi, Proses dan Prosedur Perubahan UUD di Indonesia 1945-2002, bahwa
kontroversi keberlakuan UUD 1945 muncul kembali menjelang sidang MPR era
reformasi hasil pemilu 1999 yang mengagendakan perubahan UUD 1945. Apakah MPR
dapat langsung melakukan perubahan UUD 1945, karena UUD 1945 itu tidak pernah
ditetapkan oleh MPR sebagaimana yang ditentukan pasal 3 UUD 1945 ? Majelis Permusyawaratan
Rakyat era reformasi ini ternyata melanjutkan “tradisi” MPR sebelumnya,
sehingga majelis langsung melakukan perubahan UUD 1945).
Perubahan
UUD 1945 melalui mekanisme pasal 37 itu akhirnya terwujud berkat tuntutan
masyarakat luas di era reformasi serta adanya kesadaran kolektif yang memandang
bahwa ada sesuatu yang salah dalam UUD 1945, sebagaimana telah disinggung
dibagian atas. Namun demikian, bukan berarti tanpa tantangan. Ditengah proses
amandemen sedang berlangsung, muncul kelompok masyarakat yang menginginkan
amandemen dihentikan, karena menurut mereka, amandemen UUD 1945 sudah
“keblablasan” sehingga mengarah kepada terbentuknya undang-undang dasar baru.
Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, SH., Msi, dkk dalam buku Teori dan Konstitusi)
menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu diamandemen karena ruh dan
pelaksanaan konstitusinya jauh dari paham konstitusi itu sendiri. Hal ini
sejalan bahkan diperkokoh oleh hasil Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum
Unibraw)
yang mencoba mengklarifikasikan beberapa kelemahan UUD 1945, antara lain : UUD
1945 telah memposisikan kekuasaan presiden begitu besar (executive power), sistem checks and balances yang tidak diatur
secara tegas di dalamnya, ketentuan UUD 1945 banyak yang tidak jelas dan
multitafsir, tentang minimnya pengaturan masalah hak-hak asasi manusia, sistem
kepresidenan dan sistem perekonomian yang kurang jelas.
Alasan lain yang dapat
dijadikan dasar pertimbangan perlunya mengamandemen UUD 1945, karena secara
historis UUD 1945 memang didesain oleh para pendiri negara sebagai konstitusi
yang bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa. Secara
filosofis, ide dasar dan substanti UUD 1945 telah mencampuradukkan antara paham
kedaulatan rakyat dengan paham integralistik. Padahal antara keduanya bertolak
belakang, bahkan paham integralistiklah yang telah memberangus demokratisasi di
Indonesia. Kemudian secara yuridis, karena Uud 1945 sendiri telah mengatur
prinsip dan mekanisme perubahan konstitusi (Pasal 37). Adapun dasar
pertimbangan praktis-politisnya sesuai dengan sinyalemen Mochtar Prabottinggi)
bahwa Konstitusi/UUD 1945-nya sudah lama tidak dijalankan secara murni dan
konsekuen.
Prof. DR. Jimly Asshidiqie,
SH menyatakan bahwa konstitusi di negara manapun di dunia ini tidak ada yang
sempurna, apalagi konstitusi itu buatan manusia. Penyempurnaan terhadap sebuah
konstitusi adalah sebuah keniscayaan, asalkan penyempurnaan itu dilakukan
dengan melihat urgensi kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan elit politik
semata).
B. KONSTITUSI DAN UNDANG–UNDANG DASAR
Di
negara-negara yang menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa nasional, dipakai
istilah Constitution yang dalam
bahasa Indonesia disebut Konstitusi. Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat
berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga
yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu
politik istilah Constitution
merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan - peraturan
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat
cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Penyamaan
pengertian antara konstitusi dengan Undang-Undang Dasar sebenarnya sudah
dimulai sejak Oliver Cromwell (Lord
Protector Republik Inggris 1649-1660) yang menamakan UUD itu sebagai Instrument of Government, yaitu bahwa
UUD dibuat sebagai pegangan untuk memerintah dan disinilah timbul identifikasi
dari pengertian Konstitusi dan UUD).
Konstitusi
dan Undang-Undang Dasar sering kali memiliki batasan yang berbeda, sungguhpun
keduanya sama-sama menunjuk pada pengertian hukum dasar. Secara umum,
konstitusi menunjuk pada pengertian hukum dasar tidak tertulis, sedangkan
undang-undang dasar menunjuk pada pengertian hukum dasar tertulis. Eric Barendt
dalam bukunya yang berjudul “An
Introduction to Constitutional Law”
menyebutkan)
:
“The Constitution of a state is the
written document or text which outlines the powers of its parliament,
government, courts, and other important national institution”.
Konstitusi
dapat diartikan sebagai dokumen yang tertulis yang secara garis besarnya
mengatur kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta lembaga negara
penting lainnya.
Konstitusi
dengan istilah lain constituition
atau verfasung dibedakan dari
undang-undang dasar atau groundgesetz.
Herman Heller menyatakan, bahwa konstitusi mempunyai arti yang lebih luas daripada
undang-undang dasar. Solly Lubis berpendapat, konstitusi memiliki dua
pengertian, yaitu konstitusi tertulis (undang-undang dasar) dan konstitusi
tidak tertulis (konvensi)).
Mahfud
MD dalam buku Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia) menyatakan bahwa Konstitusi dalam arti
luas mencakup baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis sehingga secara
demikian Konstitusi itu ada dua macam, yaitu Konstitusi Tertulis yang biasa
disebut dengan Undang-Undang Dasar (UUD) dan Konstitusi yang tidak tertulis
yang biasa disebut Konvensi. Hampir
semua negara di dunia ini mempunyai konstitusi tertulis disamping
konvensi-konvensinya kecuali Inggris dan Kanada. Di inggris dan Kanada yang
dipakai hanyalah Hukum Dasar yang tak tertulis (Konvensi).
Yang
perlu diingat ialah arti tertulis tersebut. Tertulis disini mempunyai arti
khusus yaitu ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. Jadi kalau sekedar ditulis
dalam bentuk publikasi, artikel, dan buku misalnya secara hukum tidak dikatakan
tertulis.
Bila
demikian dapat dikatakan bahwa semua konstitusi di dunia ini mempunyai tujuan.
a.
Mengatur lembaga-lembaga negara dan
wewenang-wewenangnya.
b.
Mengatur tentang perlindungan atas hak-hak
asasi manusia. Karena adanya konvensi maka dengan sendirinya masih banyak hal
yang diatur diluar konstitusi tetapi mempunyai sifat dan kekuatan mengikat
seperti konstitusi.
Sedangkan
menurut Juniarto, suatu dokumen hukum yang mengandung aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang pokok atau dasar-dasar mengenai ketatanegaraan dari
suatu negara, yang lazim kepadanya diberikan sifat luhur dan “kekal”, dan
apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan dengan prosedur yang
berat, kalau dibandingkan dengan dengan cara pembuatan atau perubahan
bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan yang lain-lainnya).
K.C.
Wheare dalam buku Modern Constitution) menjelaskan, istilah konstitusi secara
garis besarnya dapat dibedakan ke dalam dua pengertian.
Pertama, istilah
konstitusi dipergunakan untuk menunjuk kepada seluruh rules mengenai sistem ketatanegaraan.
Kedua, istilah
konstitusi menunjuk kepada suatu dokumen atau beberapa dokumen yang memuat
aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok atau dasar saja
mengenai ketatanegaraan suatu negara.
Sedangkan
menurut Taufiqurrohman Syahuri)
pengertian konstitusi dan undang-undang dasar menunjuk kepada pengertian hukum
dasar suatu negara, yang mengatur susunan organisasi pemerintahan, menetapkan
badan-badan negara dan cara kerja badan tersebut, menetapkan hubungan antara
pemerintah dan warga negara, serta mengawasi pelaksanaan pemerintahan.
Perbedaaannya hanya terletak pada proses terjadinya konstitusi itu. Di
Indonesia pernah memakai kedua istilah tersebut, tahun 1945 dan tahun 1950,
hukum dasar Indonesia diberi nama dengan istilah “undang-undang dasar’, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Sementara itu
pada tahun 1949, negara Indonesia menggunakan istilah “Konstitusi” untuk
menyebut hukum dasarnya, yakni Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Lepas
dari perdebatan akan perbedaan pendapat mengenai Konstitusi dan Undang-Undang
Dasar itu, Jimly Asshiddiqie menjelaskan dalam bukunya Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan), bahwa Konstitusi memiliki
fungsi-fungsi sebagai berikut :
1.
Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ
negara.
2.
Fungsi pengatur hubungan kekuasaan
antarorgan negara.
3.
Fungsi pengatur hubungan kekuasaan
antarorgan negara dengan warga negara.
4.
Fungsi pemberi atau sumber legitimasi
terhadap kekuasaan negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
5.
Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan
dari sumber kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat)
kepada organ negara.
6.
Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity), sebagai rujukan
identitas dan keagungan kebangsaan (identity
og nation), serta sebagai center of
ceremony.
7.
Fungsi sebagai sarana pengendalian
masyarakat (social control), baik
dalam arti sempit hanya di bidang politik, maupun dalam arti luas mencakup
bidang sosial dan ekonomi.
8.
Fungsi sebagai sarana perekayasa dan
pembaruan masyarakat (social engginering
atau social reform).
C. PEMBERLAKUAN KEMBALI UUD 1945 MELALUI
DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
Untuk
menjelaskan hal ini terlebih dahulu kita harus mengetahui isi dari Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 itu sendiri. Dalam disertasinya Simorangkir menjelaskan
bahwa terdapat 3 (tiga) buah hal penting yang terdapat di dalam isi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 tersebut :
1.
Membubarkan Konstituante
2.
Menetapkan berkakunya kembali UUD 1945 dan
tidak berlaku kembali UUDS 1950
3.
Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Simorangkir
menjelaskan bahwa jawabannya tersimpul a.l. dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966
dalam rumusan : “…Dekrit Presiden yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya
kembali UUD 1945 sejak 5 Juli 1995, dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara
(staatnoodrecht), mengingat keadaan ketata-negaraan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta,
untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, disebabkan kegagalan Konstuante
untuk melaksanakan tugasnya menetapkan UUD bagi Bangsa dan Negara R.I….
Meskipun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu merupakan suatu tindakan darurat,
namun kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh rakyat Indonesia,
terbukti dari persetujuan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 secara aklamasi pada 22
Juli 1959 …”.
Pendirian
tersebut adalah sesuai dengan Hukum Darurat Negara, yang memberi kewenangan
kepada pihak eksekutif untuk, dalam keadaan darurat, yang mengancam keberadaan
(eksistensi) negara, bertindak, jika perlu di luar batas-batas kewenangan
konstitusional, demi pengamanan negara.
Joeniarto
dalam bukunya Selayang Pandang tentang
Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia)
menyatakan bahwa Dekrit tersebut yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya
kembali UUD 1945, sejak 5 Juli 1959, dikeluarkan atas dasar hukum darurat
negara (staatnodrecht), mengingat
keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara,
nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta, untuk mencapai
masyarakat yang adil dan makmur, disebabkan kegagalan konstituante untuk
melaksanakan tugasnya menetapkan Undang – Undang Dasar bagi bangsa dan negara
RI.
Latar
belakangnya yang lebih mendalam adalah ekses-ekses pelaksanaan demokrasi
liberal ala UUDS 1950 yang sebenarnya bertentangan dengan jiwa demokrasi
terpimpin berlandaskan pancasila.
Menurut Bagir Manan),
hukum bukanlah sekedar bunyi aturan. Hukum mencakup juga kenyataan. Bahkan
kenyataan (Law in Action) dapat mengesampingkan
aturan hukum yang bersifat formal (Law in
Books). Terdapat beberapa faktor kenyataan yang dapat menjadi dasar
menyatakan UUD 1945 telah tetap.
- Dekrit kembali ke
UUD 1945 telah diterima sebagai kenyataan dan UUD 1945 hingga saat ini
secara resmi telah berlaku lebih dari 40 tahun. Dan nampaknyaakan berlaku
terus walaupun dikemudian hari akan terus disertai pembaharuan atau
perubahan.
- Salah satu inti
dekrit adalah menyatakan UUDS 1950 tidak berlaku. Tidak masuk akal jika
UUDS yang sementara sifatnya akan digantikan dengan UUD yang bersifat
sementara pula.
- Salah satu
pertimbangan kembali ke UUD 1945 adalah untuk kembali pada semangat
proklamasi. Tidak mungkin hasrat tersebut bersifat sementara, melainkan
hendak kembali secara ”abadi”, dan untuk itu UUD 1945 harus bersifat
tetap.
- Dari berbagai
kebijaksanaan politik dan berbagai dorongan kekuatan politik saat itu,
dapat diyakini, kehendak kembali memberlakukan UUD 1945 akan bersifat
tetap tidak sementara.
Pasal 3 UUD 1945 yang
mengatur wewenang MPR menetapkan UUD, harus dikaji secara kontekstual yaitu
keadaan pada saat UUD 1945 ditetapkan (18-8-45). Baik atas ketentuan passal 3
dan aturan tambahan maupun ucapan ketua perancang UUD (Soekarno), UUD yang ditetapkan 18-8-45
memang UUD sementara.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
uraian permasalahan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Menurut J.C.T. Simorangkir dalam
disertasinya yang berjudul “Penetapan Undang-Undang Dasar Dilihat Dari Segi
Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia” menyatakan bahwa berdasarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 tidak bersifat sementara lagi seperti 3
(tiga) UUD yang berlaku sebelum Dekrit Presiden itu tetapi sudah TETAP.
Pandangan ini menurut penulis dikarenakan pada waktu pembuatan disertasi yaitu
tahun 1983 masih diperngaruhi oleh alam Orde Baru, padahal dalam Undang-Undang
Dasar 1945 sendiri mengatur akan adanya perubahan yaitu didalam Pasal 37.
Namun
setelah waktu berjalan maka tuntutan akan perubahan atau amandemen akan
Undang-Undang Dasar 1945 mengemuka dan menjadi satu agenda bagi Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999. Sehingga sejak tahun 1999 sampai dengan
tahun 2002, MPR berhasil melakukan perubahan atau amandemen sebanyak 75 pasal.
2.
Konstitusi dan Undang-Undang Dasar banyak
yang mengartikan sama, seperti halnya pendapat dari Simorangkir sendiri, namun
ada juga pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa Konstitusi bersifat lebih luas
dari Undang-Undang Dasar sebagaimana di jelaskan oleh Solly Lubis dan Mahfud
MD, bahwa Konstitusi ada dua jenis yaitu Konstitusi yang tertulis atau
Undang-Undang Dasar dan Konstitusi yang tidak tertulis atau konvensi.
3.
Mengenai Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Simorangkir menjelaskan bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mempunyai akibat yang
sangat besar, yaitu : Pertama, Pembubaran
Konstituante, Kedua, Memberlakukan
kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS 1950, Ketiga, pembentukan MPRS dan DPAS.
Simorangkir
menjelaskan bahwa Dekrit Presiden tersebut dikeluarkan karena keadaan darurat
dari negara Inonesia pada waktu itu dikarenakan Konstituante sebagai lembaga
penyusun Undang-Undang Dasar tidak berhasil melaksanakan tugasnya sehingga
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang berakibat luar biasa pada sistem
ketatanegaraan di Indonesia.
Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 ini ternyata didukung oleh rakyat yang jawabannya
tersimpul a.l. dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966 dalam rumusan : “…Dekrit
Presiden yang merupakan sumber hukum bagi berlakunya kembali UUD 1945 sejak 5
Juli 1995, dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara (staatnoodrecht), mengingat keadaan ketata-negaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa dan Bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta, untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur,
disebabkan kegagalan Konstuante untuk melaksanakan tugasnya menetapkan UUD bagi
Bangsa dan Negara R.I…. Meskipun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu merupakan
suatu tindakan darurat, namun kekuatan hukumnya bersumber pada dukungan seluruh
rakyat Indonesia, terbukti dari persetujuan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 secara
aklamasi pada 22 Juli 1959 …”.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly Asshiddiqie, 2002, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia
di Masa Depan, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia : Jakarta.
.
.